setting

Mye Gucci: Signifikansi Effect, 30 % Kuota Keterwakilan Perempuan di Parlemen Terpenuhi : Sebuah Ilusi

04 July 2013

Signifikansi Effect, 30 % Kuota Keterwakilan Perempuan di Parlemen Terpenuhi : Sebuah Ilusi

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan dalam undang-undang nomor 8 Tahun 2012 yang mengharuskan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen per daerah pilihan. Berangkat dari aturan ini dan penilaian bahwa selama ini suara legislative belum berpihak kepada perempuan, karena kursi yang ada lebih di dominasi oleh laki-laki, maka gerakan perempuan beranggapan bahwa keterwakilan mereka di lembaga legislative akan berkorelasi positif dalam menghasilkan kebijakan-kebijakan yang tepat dalam menjawab kebutuhan perempuan.

Walaupun masih banyak kalangan yang mempertanyakan apakah yang memotivasi kaum perempuan untuk menjadi anggota legislative, Apakah benar karena peduli dengan permasalahan perempuan? Ataukah karena aktualisasi diri sembari meraup rupiah yang tidaksedikit?’.Faktanya kuota 30% telah mendorong para perempuan berlomba-lomba untuk menjadi anggota legislative.Data dari Bawaslu menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat dari setiap periode pemilu.Hasil Pemilu pada tahun 1999 hanya ada 46 perempuan dari 462 anggota legislative dan meningkat menjadi 61 perempuan dari total 550 anggota dewan di tahun 2004, dan pada tahun 2009 ada 103 perempuan dari 550 anggota dewan. Artinya keterwakilan perempuan di badan legislative terus meningkat baik dari sisi jumlah maupun prosentasi, dari 9,09% menjadi 11,09% dan 18,73% pada tahun 2009. Bahkan pada Pemilu2014 nanti harus ada 1 perempuan di antara 3 calon anggota dewan.

Banyak Pengamat memprediksi bahwa keterlibatan perempuan dalam kancah perpolitikan dewasa ini baru sebatas kuantitas, tak jarang mengabaikan bagaimana kualitas calon yang bersangkutan,apakah credible atau tidak menyandang predikat sebagai wakil rakyat.Hasil penelitian Pramono Anung yang dituangkan dalam Disertasinya, menunjukkan bahwa alasan utama seseorang menjadi anggota dewan adalah kepentingan ekonomi, sedangkan factor kedua adalah alas an politik. Hal ini disebabkan karena dalam sistem demokrasi memberikan kemudahan bagi yang bermodal besar untuk duduk di DPR, Pramono Anung mencontohkan biaya kampanye 2009-2014 rata-rata 6 Milliar, dengan biaya terendah 2 Milliar dan tertinggi mencapai 22 Milliar.

Selainitu, fakta lain menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan untuk duduk di parlemen tidak memberikan efek yang signifikan bagi perbaikan kehidupan perempuan. Prosentase perempuan yang terus bertambah dari 9,09% - 18,73% justru telah berkontribusi positif pada lahirnya undang-undang, yang tidak hanya merugikan perempuan namun juga laki-laki seperti UU tentang air, minyak dan gas, pertanian, pangan.

Bagi penulis sendiri, UU tentang keterwakilan perempuan minimal 30 % ini justru mendiskreditkan peran domestic perempuan sebagai Ibu pendidik pertama dan utama bagi anak-anak dan pengatur rumahtangga, peran ini dibutuhkan untuk mencetak dan mendidik generasi penerus bangsa. Peran domestic ini menjadi peran yang tidak menarik, kurang memiliki nilai dibandingkan peran public, bahkan peran domestic acapkali ditinggalkan perempuan untuk diserahkan kepada pihak lain.

Peran perempuan seringkali hanya akan dinilai ketika menghasilkan materi dalam bentuk rupiah. Sebagai contoh, ketika seorang perempuan bekerja menghasilkan income, maka mereka di nilai telah berkontribusi dalam membangun bangsa.Lihat saja bagaimana Pemerintah memberikan julukan ‘PahlawanDevisa’ kepada wanita-wanita yang mengadu nasib di luarnegeri sebagai tenaga kerja wanita Indonesia. Hal ini justru menambah salah kaprah masyarakat memaknai peran public itu sendiri.

Sedangkan permasalahan-permasalahan terkait perempuan seperti perlindungan di tempat kerja, angkutan umum, jaminan cuti melahirkan, upah perempuan, kekerasan, pelecehan, Trafficking dll bukannya terselesaikan malah justru grafiknya semakin naik.Pada tahun 2008 menurut Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA), sekurangnyaada 150.000 anak Indonesia yang menjadi korban pelacuran anak dan pornografi tiap tahun angka ini naik 100 % lebih dari statistic badan PBB (Kompas.com, 14/10/2008). Angka Pekerja Seks Komersial (PSK) yang terus naik ditambah tertangkapnya seorang Ratu mucikari di Jawa Timur dengan jumlah pelacur sampai dengan 1600 orang, belum lagi angka pencabulan yang terus meroket akhir-akhir ini.

Dari gambaran sederhana ini, maka kita bisa melihat bahwa keterwakilan perempuan di badan legislative dan berbondong-bondongnya perempuan ke ranah public tidak berpengaruh signifikan terhadap perbaikan kondisi perempuan, malah sebaliknya diprediksi akan menambah deretan generasi-generasi yang tidak berkualitas, disebabkan terlalaikannya peran ibu karena kurangnya kualitas dan kuantitas seorang ibu untuk mendidik anak-anak, dan menyerahkan pada pihak-pihak yang kurang bahkan tidak layak, yang pada akhirnya akan membahayakan keberlangsungan bangsa dan Negara ini.

Dalam pandangan Islam, hadirnya perempuan di ranah public bukanlah sesuatu yang diharamkan.Bahkan Islam telah memiliki aturan yang rinci dan komprehensif mengatur relasi laki-laki dan perempuan dalam ranah pubik agar hubungan tetap berada dalam garis kerjasama untuk menghasilkan kemashalahatan ummat. Pada saat yang sama Islam telah menetapkan bahwa tugas domestic bagi perempuan adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga seperti mencetak dan mendidik anak-anak menjadi anak yang sholeh, cerdas, sebagai ummu ajyal / ibu generasi sekaligus melayani dan mendukung suami. Adapun peran public perempuan sebagai individu dengan kesadaran kewajiban berdakwah kapan dan dimanapun termasuk di tengah-tengah masyarakat, melakukan pembinaan terhadap masyarakat baik secara individu maupun kelompok, serta perempuan dapat menjadi anggota majelis ummat dalam rangka menyampaikan aspirasi perempuan atau amar makruf nahi mungkar terhadap pemerintah
Home
Copyright © Mye Gucci Urang-kurai